Sejarah Desa


Talunombo diperkirakan sudah ada sejak zaman Hindu-Buddha. Menurut beberapa sesepuh desa, pernah ditemukan beberapa batuan berbentuk candi khas zaman Hindu-Buddha di Desa Talunombo. Temuan ini sampai sekarang belum di eskavasi dan riset arkeologis untuk semakin membuktikan situs ini. Penemuan situs ini dapat menandakan bahwa adanya peradaban tua pada abad ke-8 sampai abad ke-9 Masehi, sebagaimana daerah Wonosobo terutama di Dieng adalah tempat peradaban Hindu-Buddha zaman Kerajaan Mataram Kuno berkembang. Selain itu, terdapat banyak peninggalan Hindu-Buddha lainnya di daerah-daerah sekitar Kecamatan Wonosobo. Oleh karena itu, dipercaya kehidupan di Talunombo merupakan perkampungan sejak zaman sebelum Islam masuk ke Talunombo.

Catatan tertulis sejauh ini nama “Talunombo” pertama kali disebutkan dalam silsilah Bupati pertama Kabupaten Wonosobo, Kanjeng Raden Tumenggung Setjonegoro (1825-1830) atau Kyai Muhammad Ngaprah. Putri dari KRT Tumenggung Setjonegoro menikah dengan seorang Bangsawan dari Keraton Yogyakarta bernama Raden Ngabehi Wirodimedjo dan memiliki anak Raden Ngabehi Prawirodimedjo, kemudian ditunjuk untuk mengurus lahan yang dinamakan sebagai Talunombo.

Talunombo juga merupakan tempat pertahanan masyarakat di Jawa dari Belanda, hal ini ditunjukkan sebagaimana di Talunombo terdapat beberapa tempat yang dipercaya sebagai pusaka dari Mbah Klamat (Jogonegoro/Kiai Langgeng Projo Mataram). Seperti Ki Suropati, Asmoro Sufi (di Bendo Sari), Sapu Angin (penjagaan di pintu masuk Desa), Si-lau, dan Si Klamat (penjagaan poros desa Talunombo).

Sementara itu, menurut catatan sejarah lain mencatatkan Eyang Samsuni yang merupakan pemimpin pertama kali yang tercatat memimpin Desa Talunombo pada tahun 1916. Saat itu, Kabupaten Wonosobo berada dibawah pemerintahan Karesidenan Kedu (Kekuasaan Belanda), yang diwakili oleh pemerintahan Kabupaten Wonosobo melalui bangsawan keturunan Tumenggung Setjonegoro (Ki Muhammad Ngaprah). Eyang Samsuni merupakan seorang ulama yang ditugaskan untuk memimpin Talunombo sebagai seorang Lurah. Kepemimpinan dari kaum Ulama ini meninggalkan ciri Talunombo sebagai kampung santri dan Islami yang diperkuat melalui kuatnya ajaran Diniyah Islamiyah.

Bila melihat pada silislah yang ada pada sejarah Talunombo, pada tahun itu memungkinkan Eyang Samsuni adalah Raden Ngabehi Prawirodimedjo sebagai gelarnya. Namun, ini masih harus diteliti lebih dalam lagi apa peran Raden Ngabehi Prawirodimedjo di Talunombo. Selain itu, sampai saat ini masih belum ada catatan mengenai siapa Raden Tjokronegoro yang ditunjuk oleh KRT Setjonegoro. Hal ini juga terkait dengan sebagaimana terdapat sejarah mengenai Raden Tjokronegoro sebagai Bupati Purworejo.

Berdasarkan cerita rakyat atau legenda masyarakat Talunombo, penduduk Talunombo berasal dari alas antara dusun Peniron dan dusun Talunombo sekarang ini. Kini alas tersebut merupakan tegalan milik warga yang dibudidayakan menjadi beragam varietas pohon untuk dijadikan bahan kayu lapis/triplek. Dahulu, nama Talunombo belum ada, sementara nama sebelumnya ialah Bulusari. Daerah yang kini menjadi pemukiman dahulunya adalah Telaga yang sangat luas, dan dinamai sebagai telaga Ombo. KRT Setjonegoro melihat Bulusari dapat menjadi tempat penghasil pangan terbesar di Sapuran apabila telaga tersebut dapat dikeringkan. Oleh karena itu, beliau mengutus anaknya Tjokronegoro untuk memimpin pengeringan Telaga. Menurut cerita rakyat setempat, Tjokronegoro dibantu oleh Mbah Klamat, Eyang Samsuni dan Nyai Rantam Sari. Dengan bantuan kesaktian Mbah Klamat, Telaga ini berhasil dikeringkan melalui membagi Telaga Ombo menjadi beberapa bagian, seperti Si Pancuran, Si Garon, Punthuk Cikal, dan Si Merak.  Selain membagi, didapatilah pengetahuan jika harus mengurangi sumber air, maka mereka mulai melakukan ritual Kebobule. Ritual ini dilakukan dengan menutup sumber mata air dengan dandang yang terbungkus ijuk di pusat sumber air Bulusari. Ritual ini juga disertai dengan tarian lengger untung mengiringi mengecilnya mata air dan mengeringnya telaga. Selain itu, beberapa igir (bukit) juga dibobol untuk membuat aliran dari telaga dapat mengalir ke Sungai Bogowonto. Kini, sisa-sisa bukit tersebut menjadi makam-makam. Setelah air mulai mengering, masyarakat mulai menetapkan petak-petak sawah di alas-alas dengan nama-nama tertentu. Kemudian, masyarakat mulai meninggali tempat-tempat yang kering. Setelah itu dikenal-lah nama Talunombo yang berarti “wilayah yang luas”.

Sementara itu, Telaga yang perlahan mengecil, kini menjadi sumber air “Kalibulu” yang dialirkan ke rumah-rumah warga melalui pipa-pipa dan ke sawah melalui kalen. Oleh karena itu, masyarakat Talunombo sangat menjaga kelestarian dan kebersihan Bulusari/Kalibulu. Beberapa tradisi juga dilakukan oleh masyarakat, seperti Upacara Adat “Aum” yang merupakan upacara sedekah bumi untuk menghormati makhluk hidup lain selain manusia di sawah yang secara tidak sengaja terbunuh. Upacara adat ini juga merupakan bentuk syukur kepada Allah SWT dan leluhur Talunombo seperti pada Nyai Rantam Sari. Masyarakat Talunombo mengadakan tradisi ini dengan melakukan kirab dari Kantor Desa menuju Kalibulu sebagai tempat akhir acara, di mana Ulama dan Kepala Desa menyampaikan sambutan untuk mengarahkan upaya penanaman maupun panen padi.


Total Dibaca

Kami mengatakan tidak untuk

  • Korupsi
  • Pungli
  • Mantan yang pernah menyakiti hati

Contact Details

Telephone: Whatsapp : -
Email:  desatalunombo2@gmail.com
Website: https://talunombo-sapuran.wonosobokab.go.id

Krajan RT 03 RW 03 Talunombo Sapuran Wonosobo